Sebotol Air Mineral


Kalau kamu mau, coba tanya dia, hal apa yang bisa membuatnya bergumam takjub?
Jawabnya pasti “langit sore hari.”
Langit sore hari yang memancarkan semburat orange, merah, biru.
Langit sore yang bercampur dengan kadar karbondioksida.
Langit sore yang menaungi langkah kaki manusia untuk pulang.
Langit sore yang begitu indah tapi tidak sombong.

“Pernah tidak, kamu merasa tidak suka dengan langit sore?”
“Pernah.” jawabnya.
“Waktu musim hujan? Langit jadi mendung?”
“Bukan.”
Tidak ada yang menyahut setelah itu. Seperti sama-sama tidak ingin mengungkit kembali hal yang mungkin tidak menyenangkan.

Tapi ternyata kemudian dia bercerita. Tentang langit sore yang membuatnya resah. Langit sore yang menjadi temannya untuk merasakan debaran jantungnya berdetak sedikit tidak normal, di tempatnya duduk waktu itu, di boncengan motor. Dia waktu itu berdoa agar segera sampai tujuan, dan terbebas dari perasaan yang sungguh tidak membuatnya nyaman.

“Apa yang membuatmu seperti itu?”
“Sebotol air mineral.”
Lalu katanya, dia bukannya tidak suka langit sore di hari itu. Langit sore tidak tahu apa-apa. Langit sore hanya menjalankan tugasnya menggiring hari yang penat menuju ketentraman.
“Tapi ada saja orang yang tetap risau walau langit sore sudah tiba, bahkan ketika sudah lama tergantikan langit malam, harinya tetap tidak tentram.”
“Oh ya? Kenapa?” tanyanya.
“Karena sebotol air mineral.”
Lalu dia berdecak kesal, walau hanya sebentar, walau mungkin hanya pura-pura kesal, tapi cukuplah menambah kesan sore hari di waktu itu yang tidak pura-pura.

“Nanti, setiap aku minum air mineral botolan, aku akan otomatis ingat kamu.”
Dia diam.
“Apalagi minumnya sambil lihat langit sore.”
Dia tetap diam.

Share:

0 komentar