0461 - An Encore
“Selamat
ulangtahun, ingat, aku orang pertama yang mengucapkan padamu.”
Ia
hanya tersenyum manis sekali, hingga kedua matanya menyipit, terlampau bahagia.
Ia membuka kedua matanya yang beberapa
detik lalu sempat terpejam. Waktu seolah menghimpitnya, entahlah, ia hanya
tidak tahu harus melakukan apa. Jarum jam terus bergerak, perlahan menuju angka
yang tertera pada sebuah kertas tebal dengan nama tercetak rapi yang tergeletak
diatas mejanya.
Hari
ini suasana cukup menyenangkan. Seorang teman mengadakan pesta di rumahnya. Ia melihat
dia tengah berjalan kearahnya, tanpa berpikir panjang ia juga melangkah
menghampirinya.
Tapi,
dia ternyata bermaksud menghampiri teman mereka yang lain. Teman berpipi tembam
yang berdiri diantara jaraknya dan dia. Ia berhenti melangkah. Menatap dia yang
kini meniupkan confeti di atas kepala si pipi tembam.
Ia menghampiri sang pendengar janjinya.
Memeluknya. Tidak menghiraukan kalimat heran yang ditujukan padanya. Bukan
pelukan erat, ia hanya ingin mencari pembenaran.
“Kau
tidak suka jika aku berdekatan dengan orang lain?”
Halaman
depan rumahnya yang sepi menambah kesan lengang diantara mereka.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin
besar lemarinya, yang sekarang tengah sibuk mengancingkan lengan kemejanya.
Dia
menghela napas melihatnya yang hanya diam. “Baiklah.” Sedetik kemudian ia sibuk
dengan handphonenya. “Kalau kau tidak sibuk buka akun sosial mediamu. Sudah ya
aku pulang.”
Ia mencengkeram stir mobilnya.
“Kau tahu aku tak akan pernah muncul
hingga di hadapan mereka besok.”
Ia teringat percakapan mereka tadi malam
melalui telepon. Ia hanya mendengarkan apa yang dia ucapkan, tidak berbicara
sepatah katapun.
“Aku tidak sepertimu.”
Ia bisa merasakan dia menelan ludah di
seberang sana, ia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.
“Aku berangkat besok, kau mau
menemaniku?”
Jeda, lalu dia tertawa, terdengar
hambar. “Aku bercanda. Sudah ya.”
Tertegun.
Ouh, dia pasti sudah gila memposting hal seperti itu di sosial media. Foto
ketika mereka merayakan ulangtahunnya terpampang jelas di layar handphonenya. Ia
segera mendial nomornya. Ia akan memintanya menghapus postingan itu.
Sedetik….dua detik….masih terdengar nada sambung. Ia mengusap wajahnya, pipinya
memanas mengingat sebuah kalimat yang dibacanya tadi.
“Kau
sudah membacanya?” dia langsung bertanya begitu menjawab panggilannya, lalu dia
terkekeh pelan. “Biarkan orang lain tahu.” lanjutnya.
“Tak
masalah kalau orang lain menganggap itu hanya candaan, tapi aku serius.”
Ia
yang semula berdiri kini berjongkok, marahnya entah menguap kemana. Wajahnya ia
benamkan ke dalam lipatan tangan kirinya.
Ia membuka pintu ruang tunggu yang
bercat coklat. Kosong. Ia menelan ludah. Segera ia masuk, mungkin dia berada di
toilet atau sudut ruangan lainnya. Degup jantungnya semakin cepat saat ia
menyadari ruangan itu benar-benar kosong. Dia serius dengan ucapannya.
Ia bertanya pada orang yang berlalu
lalang. Jawaban mereka sama, dia berada di ruangannya. Ia mendial nomornya,
sia-sia, menghela napas. Dia selalu serius dengan ucapannya.
Ada berbagai rasa yang berkecamuk saat
ini.
Jika dia memang telah pergi seorang
diri, maka ia tidak akan semakin menyakiti orang lain. Ia akan pulang. Persetan
dengan ucapan selamat tinggal ambigu yang ia ucapkan tadi. Ia akan pulang…. Ia
akan pulang ke rumah….ke tempat yang kata orang adalah rumahnya.
Ia berjalan gontai ke mobilnya. Cerita
apa yang telah mereka lakukan bersama seperti berputar kembali. Di belakangnya
terdengar ribut-ribut, ia tak peduli.
Teringat saat mereka berduet.
Ia membuka pintu mobilnya. Ia akan….
Ia membuka pintu mobilnya. Ia akan….
“Kau sudah pernah kuberitahu belum kalau
aku paling suka melihatmu mengenakan pakaian warna merah muda?”
Ia menoleh ke kursi penumpang
belakang…..tidak pulang ke rumah
“Kau tidak suka melihatku dengan orang
lain, aku masih mengingatnya.”
Tags:
Fiction
0 komentar