0461
I do believe all the love you give
All of the things you do
Love you, love you…..
Ia
telah duduk di kursinya, lalu menoleh sekilas ke samping. Dilihatnya dia tengah
mempersiapkan gitarnya. Beberapa detik tatapannya tak lepas dari wajah itu.
Dadanya selalu terasa sesak saat melihat kearahnya, memandangnya, berbicara
dengannya, tapi ia selalu mengulangnya. Seolah itu candu.
Ia
menunduk sembari menjilat bibir bawahnya, sedari dulu berinteraksi dengannya
selalu candu. Jauh sebelum rasa bahagia berganti menjadi rasa yang tidak
menyenangkan.
I’ll keep you safe, don’t you worry
I wouldn’t leave, wanna keep you
near
Dia
berdiri, hendak menukar gitarnya dengan gitar lain, dan ia mengikuti arah
geraknya. Hingga ia tertangkap basah tengah menatapnya, segera ia alihkan pandangannya.
Melemparnya ke sembarang objek di depannya, selain dia.
Ia
sedikit melirik, kali ini bukan ke wajahnya, melainkan kearah gitar yang tengah
dipetiknya. Saat dirasanya dia dan gitarnya telah siap, iapun mengangkat
wajahnya.
Sedetik….
Dua detik….. Ia tertegun.
Dia
tengah menatapnya, dengan senyum dan anggukan kepala, mengajaknya untuk
memulai. Intro lagu dari gitarnya mulai terdengar.
Dia
tersenyum, tapi bukan senyum seperti dulu, dia mencoba tersenyum seperti dulu.
Hatinya mencelos. Rasanya ia ingin menangis.
“Kita akan selalu bersama, bukan?”
Saat
mulai bernyanyi, ia teringat ucapan dia waktu itu.
Cause I feel the same way too
Love you, love you…..
Want you to know that I’m with you
Ruangan
terasa hening dan ia tidak peduli dengan penilaian orang lain tentang
penampilan mereka. Ia hanya ingin menikmati lagu mereka, tidak peduli saat
jemari dia yang bermain gitar sedikit terpeleset saat memainkan nada. Ia hanya
tersenyum saat menyadarinya. Dia memang terkadang ceroboh.
“Kita akan selalu bersama, bukan?”
tanya dia. Pertanyaan yang ambigu menurut mereka berdua. Dan ia hanya mengangguk
kecil, kepalanya bergesekan dengan dadanya. Dia mempererat pelukannya.
Ia
kembali memberanikan diri menatap wajahnya. Potongan cerita malam itu kembali
muncul, hari yang sama-sama tak mereka inginkan, sebuah janji yang mengubah
senyum favoritnya.
“Segeralah menemuiku, jika kau
mendapatinya tidak mencintaimu.” lanjut dia. Ia hanya diam, tapi air matanya
sudah membasahi jas milik dia sedari tadi. Satu lengan yang memeluknya kini
berganti menjadi dua, melingkar sempurna di tubuhnya, memeluknya semakin erat.
Ia
masih memandangnya, tidak peduli apa yang dipikirkan orang yang melihat. Suara
dia yang sedikit bergetar saat itu, kepala yang tenggelam di pundaknya saat dia
memeluknya, dan dirinya sendiri yang tidak mengucapkan sepatah katapun, masih
diingatnya.
Karena
apa yang ia inginkan di dalam lubuk hatinya memang telah diucapkan oleh dia.
I’ll love you and love you and love
you
Gonna hold you and hold you and squeeze
you
I’ll please you for all time
Dia
mengangkat wajahnya dari gitar, kini ia bermain seraya balas memandangnya. Lalu
tersenyum. Senyum yang seperti telah jutaan tahun lamanya tak ia lihat, kini
dilihatnya lagi saat mereka disini.
Ia
mencengkeram lebih kuat microphonenya. Air mata yang sepertinya benar-benar
akan keluar ia alihkan menjadi sebuah senyum.
Mereka
saling melempar senyum.
Di
depan banyak orang yang melihat.
Seolah
menunjukkan bahwa mereka memang seharusnya bersama.
I don’t wanna lose you and lose you
and lose you
Cause I need you and need you and
need you
So I want you to be my lady
Lagu
mereka perlahan mencapai bagian akhir. Ia benar-benar berharap seseorang dengan
kemampuan menghentikan waktu benar-benar ada di dunia ini. Ia ingin selamanya
seperti ini.
Ia
menyanyikan lirik terakhir lagu mereka, tapi kepalanya sibuk berpikir. Setelah
ini alasan apa lagi agar dirinya dan dia bisa bersama?
Kemudian
suara tepukan tangan yang cukup riuh terdengar. Berat hati ia menerima pujian
orang-orang. Lagu mereka selesai.
Dilihatnya
dia tersenyum senang menerima pujian orang-orang itu. Lalu?
Sungguh
ia tidak ingin ini berakhir.
You’ve got to understand my love
Tangannya
yang mungil berada di genggamannya. Dia terus menggenggam tangannya, menuntunnya
kembali ke kursi mereka. Senyum tadi masih tersungging di bibirnya. Ia bisa
melihatnya walau berjalan di belakangnya.
“Segeralah menemuiku…Segeralah
menemuiku…”
Ia
sedikit mempererat genggaman tangan mereka. Tidak, ia tidak sedang menemuinya,
karena memang ia tidak pernah meninggalkannya.
Dia
menoleh begitu sampai di kursi mereka. Masih tersenyum seraya mempererat
genggamannya sebelum mereka duduk, seolah mengerti apa yang coba disampaikan si
pemilik tangan mungil.
Genggaman
tangan mereka terlepas. Kini mereka duduk bersisian. Ia mengulum senyum.
Sekarang seperti ini mungkin sudah cukup.
You’re beautiful, beautiful,
beautiful.
Beautiful, beautiful, beautiful,
Beautiful girl….
-1388-
Tags:
Fiction
0 komentar