Studi Kasus
“Kenapa kita harus membuat cerita
seperti itu?”
“Kau bodoh atau apa? Itu hal dasar
yang dilakukan di film-film, dan terlihat keren,” ucapku seraya membuka gambar
peta dunia di laptop. “Kemana kita sebaiknya, hm?”
Temanku mengetuk-ketukan telunjuknya
pada tempat pilihannya, memandangku meminta persetujuan.
“Oke.” Aku juga ingin kesana.
Itu
obrolan kami beberapa waktu silam, disela-sela transaksi yang kami lakukan di
sebuah café. Dengan laptop menyala dan segelas jus strawberry yang tinggal
sedikit. Waktu itu aku seperti menemukan oase di padang pasir, setidaknya aku
tidak sendirian dengan pemikiran yang mampu membuat orang mengernyitkan dahi
atau lebih buruk dari itu- membuat orang tuaku segera mengatakan tidak.
Rasanya
aku yakin untuk melakukannya, walaupun jantungku langsung berdentum lebih cepat
saat memikirkannya. Haruskah aku benar-benar melakukan obrolan selingan kami? Tapi
tidak ada cara lain yang lebih meyakinkan. Ini pertama kalinya aku akan
membangkang, dan juga mungkin yang terakhir. Aku menggosok-gosok telapak
tanganku, mengusir rasa dingin yang disebabkan pendingin ruangan. Juga untuk
meredam perasaan resah yang mengusik. Aku yakin. Aku akan melakukannya. Sekali
lagi aku yakin!
Tapi
sekarang secangkir kopi yang telah mendingin sejak beberapa menit yang lalu
menemani keyakinanku yang sedikit goyah. Seolah mengejekku yang kini sesekali
mencuri lihat kearah seseorang yang tengah duduk di salah satu meja dekat
lukisan yang terpajang di dinding, dengan kedua temannya. Senyumnya begitu
menawan. Hell, ini terdengar klasik, tapi rasa-rasanya aku pernah melihatnya
sebelum ini. Rasa-rasanya…
“Kita
akan berangkat kapan?” tanyaku saat teman yang sedari tadi kutunggu telah duduk
di hadapanku dan kami sudah membicarakan banyak hal sebelum sampai ke topik ini.
Ia
bersedekap. “Minggu depan mungkin.”
Aku
meneliti raut wajahnya. “Kau yakin, kan? Kau tidak akan goyah, kan?”
Ia
mencibir. “Tanyakan itu pada seseorang yang memiliki ide ini dan sekarang duduk
berhadapan denganku.”
Aku
mengerjap, jemari tangan kananku mengetuk-ketuk pelan lengan cangkir kopi. Apakah
terlihat begitu jelas, huh?
“Ya,
seolah itu tertulis di seluruh wajahmu kalau kau mulai ragu.” Aku mengerjap
sekali lagi mendengar ucapan temanku barusan. Rupanya tanpa sadar aku
menyuarakan pikiranku.
Aku
menghela napas. Setidaknya ada satu cara yang bisa ku lakukan sebelum
benar-benar memutuskan untuk pergi. Karena sejujurnya aku masih ingin menjalani
hidup senormal mungkin.
“Kau
mengatakan tidak akan terjatuh lagi,
kawan. Kau mengatakan itu beberapa tahun yang lalu.”
Ya,
ya, temanku benar. Aku sedikit malas, takut, atau apalah itu untuk terjatuh lagi. Tapi sekarang hanya
alternatif itu yang terpikirkan jika ingin kehidupan yang normal.
“Setidaknya
ini lebih baik, setidaknya ada keinginan dari diriku sendiri, dan dia memang
orang yang menarik perhatianku, bukan rekomendasi dari orang lain.”
Temanku
menolehkan kepalanya sekilas, melihat kearah mataku memandang, lalu menyengir
lebar. Mencoba untuk terjatuh lagi bukan perkara mudah bagiku. Temanku tahu
itu, dan dia berkata, “So, go get that person.”
Jadi,
aku datang lagi ke café ini, berharap akan melihatnya lagi di salah satu kursi.
Tapi hingga kopiku hampir habis, aku tidak melihatnya. Aku memainkan handphone, menghalau rasa kecewa yang
tiba-tiba menyergap dengan membalas email dari temanku.
Ia
sudah berangkat tiga hari yang lalu. Esoknya aku mendengar berita tentang
kecelakaan pesawat, satu penumpang dinyatakan hilang. Dan sekarang aku membaca
email dari penumpang yang dinyatakan hilang itu, berkata bahwa ia sampai
tujuan. Sesuai rencana. Yeah, selamat menempuh hidup baru.
Aku
tidak tahu bagaimana cara mendekatinya. Aku buta informasi tentangnya. Aku
hanya mengandalkan café ini. Jika beruntung, aku akan melihatnya lagi di salah
satu meja dengan beberapa temannya. Jika sedang tidak beruntung, aku hanya
membuang-buang waktu disana, menunggu cukup lama dan hanya memesan secangkir
kopi, dan berakhir aku harus segera beranjak dengan perasaan tidak enak karena
tatapan karyawan café yang seolah berkata ‘kau harusnya pergi dari sini
daritadi’.
Hari
ini aku beruntung, aku melihatnya datang ke café ini. Aku mengulum senyum yang
hampir saja tercipta. Hampir tercipta. Karena aku sadar, hari ini aku tidak
beruntung. Dia datang. Yeah, dia datang. Dia datang dengan seseorang yang
memiliki wajah menyebalkan- dimataku.
Aku
mengusap tengkukku. Aku tahu atmosfir seperti apa ini. Alternatif ini tidak
berjalan sukses.
Alasan
temanku kabur dan memulai hidup baru yaitu dia memiliki pemikiran yang sama
denganku. Menikah berada pada urutan entah keberapa, yang jelas tidak hari ini,
esok, atau tahun depan. Untuk apa buru-buru menikah ketika secara mental masih
setara dengan anak sekolah dasar? Walaupun sebenarnya umur telah berada pada
titik dimana aku boleh memasuki club secara legal. Toh, aku tidak akan langsung
masuk neraka jika tidak segera menikah. Sayangnya waktu terus mendesak umurku
untuk naik yang menyebabkan orang-orang di sekitarku tidak bisa hanya duduk
diam dan menunggu.
Sial,
memikirkan ini benar-benar membuatku frustasi!
Harusnya
aku tidak menunda rencanaku dan pergi bersama temanku waktu itu. Harusnya aku
mengabaikan saja pemikiran ‘rasa-rasanya’ yang muncul waktu itu. Harusnya tidak
usah terpikirkan alternatif idiot itu. Kesal mendapati diriku tertipu oleh
pemikiranku sendiri, aku menelepon seseorang. Panggilan internasional.
“Kau
akan menyambutku kan, saat aku tiba disana?” tanyaku, lebih terdengar sedikit
meminta paksa.
“Haruskah
ku jawab pertanyaan bodohmu itu?” Aku berdecak mendengar jawabannya.
“Kau
memakai jasa agen yang aku rekomendasikan itu, kan?” sambungnya kemudian.
Aku
mengangguk, lupa kalau lawan bicaraku tidak bisa melihatnya. “Ya, kemarin kami
sudah bertemu dan aku memintanya untuk menyetting cerita sepertimu.”
“Aku
heran, bagaimana mereka bisa melakukan sesuai dengan permintaan kita?”
“Mungkin
mereka sedikit melakukan sabotase, atau apalah terserah, itu pekerjaan mereka.”
“Kau
sudah dapat tempat tinggal disini?” temanku mengalihkan topik.
“Mungkin,
aku meminta agen itu untuk mencarikanku tempat tinggal sekaligus, tapi aku
belum mendapat kabar.”
“Tenang
saja, mereka professional, mereka pasti melakukannya sesuai permintaanmu. Mau aku
bantu carikan?” tawarnya kemudian.
“Ide
bagus.”
“Jadi,
kau mau tinggal di rumah atau apartemen sepertiku? Katakan saja seperti yang
kau minta ke mereka.”
“Terserah,
yang penting terasa nyaman dan aku memiliki tetangga seperti Do Min Joon.”
Dua
detik kemudian aku mendengar nada telepon diputus.
Tags:
Fiction
0 komentar