Di
sebelah Edward, si boneka tua mendesah. Ia tampak duduk lebih tegak. Lucius
datang dan mengambilnya dari rak, lalu menyerahkannya pada Natalie. Dan ketika
mereka pergi, ketika ayah si gadis membukakan pintu untuk anak perempuannya dan
si boneka tua, seberkas cahaya matahari pagi yang terang membanjir masuk, dan
Edward mendengar cukup jelas, seolah boneka itu masih duduk di sampingnya,
suara si boneka tua itu.
“Buka
hatimu,” katanya lembut. “Akan ada yang datang. Akan ada yang datang
menjemputmu. Tapi kau harus membuka hatimu dulu.”
Pintu
menutup. Sinar matahari lenyap.
Akan ada yang datang.
Hati
Edward berdesir lagi. Ia memikirkan, untuk pertama kali setelah sangat lama,
rumah Egypt Street dan Abilene yang memutar jamnya lalu membungkuk di depannya
dan meletakkannya di kaki kiri Edward, sambil berkata: Aku akan pulang padamu.
Tidak,
tidak, ia berkata pada dirinya sendiri. Jangan percaya. Jangan biarkan dirimu
mempercayainya.
Tapi
sudah terlambat.
Akan ada yang datang menjemputmu.
Hati
kelinci porselen itu pun mulai terbuka lagi.
***
“Edward?”
panggil Abilene.
Ya,
kata Edward.
“Edward,”
ia berkata lagi, kali ini dengan yakin.
Ya,
sahut Edward, ya, ya, ya.
Ini
aku.
Dahulu
kala ada kelinci yang menari di taman pada musim semi bersama putri si
perempuan yang menyayanginya di awal perjalanannya.
Dahulu
kala, di masa lalu yang luar biasa, ada kelinci yang menemukan jalan pulang.
-The Miraculous Journey of
Edward Tulane,
Kate Di Camillo-