Kenapa
kau selalu ingkar?
Tidak
ada lagi alasan untukmu menoleh ke belakang kembali. Tidak pada sosok yang selalu kau lihat melalui jendela yang hanya seperti siluet. Juga tidak pada senyum yang
terukir di bibirnya -mungkin dengan lambaian tangan sekilas- yang hanya sebuah
imajiner yang begitu kau idamkan.
Kenapa
kau selalu saja senang kembali?
Berputar
pada satu poros. Seolah siluet itu, bayang imajiner itu adalah porosmu. Seolah
tanpanya sama saja dengan hidup tanpa menghirup cukup oksigen.
Kenapa
kau begitu senang merasakan sesak di dadamu?
“Aku
merasa sesak karena senang hanya dengan mengingat kembali dirinya.” Ucapmu waktu
itu.
“Tapi
aku juga merasakan sesak karena sakit di waktu yang sama.” Kau pun
menyadarinya.
Apakah
otakmu sudah rusak? Memutar berulang kali memori itu-itu saja seperti kaset usang
yang ku simpan di laci terbawah nakasku.
“Aku
jadi ingat saat mencarikan dia sesuatu di tempat seperti ini.” Aku memutar
kedua bola mataku cepat. Tidak ingin kau memegorkiku tengah jengah. Ya, aku
jengah dengan kalimatmu barusan. Entah itu sudah keberapa kali, kau selalu
mengucapkan hal yang sama saat mengunjungi pusat perbelanjaan seperti ini,
seperti sekarang.
Oh
ayolah, tidak ada yang perlu kau ingat-ingat lagi tentangnya. Karena memang
tidak pernah ada cerita antara kau dan dia. Yang menulis cerita selama ini
hanya kau, dengan dia –siluet setengah imajiner setengah nyata, menurutku-
sebagai pemeran utama.