Berhentilah, bodoh!
Kenapa
kau selalu ingkar?
Tidak
ada lagi alasan untukmu menoleh ke belakang kembali. Tidak pada sosok yang selalu kau lihat melalui jendela yang hanya seperti siluet. Juga tidak pada senyum yang
terukir di bibirnya -mungkin dengan lambaian tangan sekilas- yang hanya sebuah
imajiner yang begitu kau idamkan.
Kenapa
kau selalu saja senang kembali?
Berputar
pada satu poros. Seolah siluet itu, bayang imajiner itu adalah porosmu. Seolah
tanpanya sama saja dengan hidup tanpa menghirup cukup oksigen.
Kenapa
kau begitu senang merasakan sesak di dadamu?
“Aku
merasa sesak karena senang hanya dengan mengingat kembali dirinya.” Ucapmu waktu
itu.
“Tapi
aku juga merasakan sesak karena sakit di waktu yang sama.” Kau pun
menyadarinya.
Apakah
otakmu sudah rusak? Memutar berulang kali memori itu-itu saja seperti kaset usang
yang ku simpan di laci terbawah nakasku.
“Aku
jadi ingat saat mencarikan dia sesuatu di tempat seperti ini.” Aku memutar
kedua bola mataku cepat. Tidak ingin kau memegorkiku tengah jengah. Ya, aku
jengah dengan kalimatmu barusan. Entah itu sudah keberapa kali, kau selalu
mengucapkan hal yang sama saat mengunjungi pusat perbelanjaan seperti ini,
seperti sekarang.
Oh
ayolah, tidak ada yang perlu kau ingat-ingat lagi tentangnya. Karena memang
tidak pernah ada cerita antara kau dan dia. Yang menulis cerita selama ini
hanya kau, dengan dia –siluet setengah imajiner setengah nyata, menurutku-
sebagai pemeran utama.
“Aku
sudah melupakannya.” Aku tersenyum mendengarnya. Membiarkanmu menjelaskan atas pertanyaanku
tadi, tentang kau yang sepertinya masih setengah sadar terjebak di dalam poros
itu.
“Aku
sungguh tidak menyukainya lagi.” Kilatan matamu mengucapkan hal yang berbeda. Kau
kira aku tak tahu?
Tapi
aku kembali hanya tersenyum seraya mengusap lembut puncak kepalamu. Menahan diri untuk tidak
membeberkan bukti, bahwa aku pernah memergokimu tengah mendengarkan sebuah lagu
sambil melamun. Ekspresimu waktu itu menunjukkan siapa yang ada di dalam
lamunanmu.
Sebenarnya
takdir apa yang coba kau tawar di dalam poros itu, huh? Kau sudah memutus komunikasi dengannya, tapi kau malah bertemu dengan
orang-orang yang berhubungan dengannya. Mengenal mereka cukup baik seolah itu
hal yang wajar. Membuatku heran sekaligus frustasi melihatnya.
“Mungkin
memang dia jodohmu. Kau pernah dengar tidak, kalau kita berjodoh dengan
seseorang, maka kita akan didekatkan dengannya, dengan lingkungannya.”
Hatiku
meneriakkan kata tidak terlalu cepat saat mendengar ucapan salah satu teman
kami. Dan hei, apa aku tidak salah? Aku menangkap ekspresi ragu di wajahmu. Bukan
ekspresi dengan mata berbinar karena diberi sedikit harapan seperti yang
kusangka beberapa detik lalu.
“Kau
seperti tidak setuju –lebih tepatnya menolak- tentang yang tadi diucapkan oleh
teman kita.”
Kami
berjalan bersisian, melewati trotoar yang disibukkan orang berlalu lalang.
Kau
mengedikkan bahu. “Tidak tahu.”
Aku
menghela napas berat. “Berdoalah, agar ucapannya tadi menjadi nyata. Jadi kau
akan bahagia dan merasa utuh, bukankah begitu?”
“Tidak
juga.” Kau menundukkan pandangan matamu. Seolah jalanan trotoar itu menarik
perhatianmu. “Aku juga tidak ingin terus-menerus seperti ini. Duniaku luas kau
tahu.”
Aku
menelan ludah. Sekarang kami sama-sama menghentikan langkah. Berdiri seraya
saling menatap. Membiarkan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar kami
bagaikan tayangan buram.
“Sejujurnya
aku mulai kehilangan selera untuk berdoa agar dia menjadi jodohku, ini
melelahkan.”
Yeah,
aku mendengarkanmu. Diam-diam menelisik ke dalam matamu, mencari secuil
kebohongan yang biasanya kau simpan rapat, tapi aku tidak berhasil menemukannya.
Apa kau sudah semakin mahir menyembunyikannya?
“Ayo
kita mulai lagi dari awal. Tidak akan ada dia lagi kali ini.”
Dahiku
berkerut, menyatukan kedua alisku. Kucondongkan tubuhku ke depan, membuat
tubuhmu menjadi condong ke belakang. “Kau yakin?” tanyaku skeptis.
Kau
mengangguk. “Ya.” Tidak ada kegusaran pada kilatan matamu seperti pertama kali
dulu, yang bahkan –demi Tuhan- berkaca-kaca.
Aku
menegakkan tubuhku kembali, begitu juga
dirimu. “Tidak ada acara stalking?”
“Tidak
ada.” Sahutmu tegas dan terlalu cepat.
“Tidak
membayangkannya saat mendengarkan lagu?”
“Hu-uh.”
“Tidak
lagi memposting sesuatu tentangnya di website pribadimu?”
“Y…ya…ya
tentu.”
“Wah,
kau mulai ragu.” Aku mengarahkan telunjukku tepat di depan wajahmu. Aku tahu
ini tidak sopan, tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur.
Kau
menepis tanganku. “Bukan seperti itu!” sungutmu kesal. “Percayalah pada janjiku
kali ini.”
Aku menghela napas. “Baiklah.
Sebaiknya kau tidak memperlakukan janjimu kali ini dengan begitu murahan,” ucapku
dengan nada sok mengancam.
Dan
selanjutnya kami melanjutkan langkah kaki yang terhenti tadi dengan sebuah
janji baru -yang semoga saja tidak mudah rusak-.
Angin
mulai berhembus. Memaksa kami memasukkan kedua tangan kami ke dalam saku jaket
masing-masing. Kali ini kau sudah membuat telingaku mendengarkan ceritamu
tentang boygroup yang terdiri dari para lelaki muda dan tampan –menurutmu-.
“Nikahi
saja salah satu dari mereka,” ucapku asal, menimpali ceritamu. Karena aku
selalu mendengarkanmu, kau tahu itu. Kau malah menyahuti dengan racauan bahwa
kau tidak bisa memilih salah satu dari mereka karena pesona mereka yang –lagi-lagi
menurutmu- terlalu meluap-luap. Aku hanya terkekeh pelan mendengarnya.
Dan
kau sebaiknya benar-benar menepati janjimu kali ini untuk berhenti melakukan
tindakan sia-sia yang hanya membuatmu terlihat bodoh, bodoh.
Esoknya kulihat dirimu di depan notebook dengan ekspresi cukup
serius. Aku menghampirimu. Oh yeah, rupanya kau tengah menulis sesuatu
tentangnya di website pribadimu. Hah?! Apa?! Aku tersedak cola yang tengah ku minum.
"Kau bilang tidak akan menulis tentangnya lagi." Aku
mulai protes kesal.
"Ini yang terakhir, kau tahu." Jemarimu lancar menekan
huruf-huruf di keyboard. Aku membaca cepat kalimat-kalimat yang kau ketik di
layarnya. Rasa kesalku perlahan mereda.
"Pastikan ini menjadi terakhir dari yang terakhir."
"Yeah, ini terakhir dari yang terakhir."
Tags:
Fiction
0 komentar