Teruntuk Para Ikan Yang Telah Gugur


Aku masih ingat betapa bingungnya aku mencari nomor kursi yang harus aku duduki. Aku datang terlambat pagi itu dan berjalan dengan tergesa mencari barisan jurusan Teknik Sipil yang ternyata sudah masuk ke dalam gedung.

“Mbak jurusan apa?” tanya seorang perempuan di sampingku.

“Teknik sipil. Kamu sipil juga?” tanyaku, dan berharap jawaban dia adalah iya sehingga aku punya teman untuk masuk gedung.

“Bukan Mbak. Sipil udah masuk pertama tadi. Mbak udah tahu nomor kursi belum?”

“Hah?? Ada nomor kursi?” aku benar-benar bingung.

“Iya ada.”

Kami mengobrol sambil ikut berjalan antre masuk ke dalam gedung.

“Lihat aja di web mbak.”

Astaga, dari awal masuk hingga mau keluar seperti ini rasanya aku masih clueless dengan kampus ini. Lalu aku mulai mengikuti saran dia. Mencoba mengakses web yang dimaksud. Tapi sialnya sinyal internet begitu buruk lantaran ramai dan riuhnya situasi di dalam gedung.

Kami berjalan beriringan tadi, tapi akhirnya dia belok ke kanan karena menurut daftar, nomor kursinya ada di sebelah kanan.

 

“Mbak nomor kursinya berapa?” tanya salah satu panitia perempuan.

“Ngga tahu.” jawabku. Entah seperti apa raut mukaku saat itu. Menurut wisudawan tadi yang mengobrol denganku, kemarin ada gladi resik acara wisuda. Begitu mendengarnya aku kaget lantaran aku sama sekali tidak tahu soal itu, padahal aku rajin mencari informasi, pun teman-teman yang lain tidak ada yang menginformasikan.

Jadilah pagi itu, yang seharusnya aku memasuki gedung acara wisuda digelar dengan anggun, malah linglung.

 

“Jurusan apa?” seorang panitia yang lain menghampiri. Seorang bapak dengan beberapa lembar kertas yang terjepret berada di genggamannya.

“Teknik sipil Pak.” jawabku sumringah, seolah akhirnya aku menemukan cahaya dari Goblet of Fire setelah berlarian menyusuri labirin tanaman ganas.

“S1 atau S2?”

“S2 Pak, MRSA, Dyan Eka.” jawabku lengkap, menyebut prodiku, Manajemen dan Rekayasa Sumber Daya Air.

Sang bapak memeriksa kertasnya dengan cepat. Sedetik kemudian beliau memberitahu nomor kursiku.

“Kursi 6A ya, depan sana sebelah kanan.”

Oh, damn depan sendiri. Kali ini aku tidak akan bisa tidur.

[Aku tidur saat wisuda S1 2015 lalu, sila baca ini]


***

 

Rasanya berada di gedung wisuda hari itu, Sabtu, 22 September 2019 seperti mimpi. Gimana ngga? Karena aku kira aku ngga akan bisa ikut merasakan euphoria orang-orang di sekelilingku hari itu karena aku lebih memilih untuk menyerah.

Berkali-kali aku berpikir aku ngga akan bisa, kemampuanku ternyata ngga sebesar ekspektasiku, dan hal-hal negative lainnya yang sering berkecamuk di dalam pikiranku.

 

Tapi ternyata aku bisa.

YES I DID IT.

Walopun sebenernya aku ngga puas aja dengan hasil akhir tesisku.

HAH YA TAPI BODO AMATLAH YANG PENTING LULUS BEB.

Ngga deng, becanda.

Kata dosen pembimbing yang namanya penelitian ngga akan pernah sempurna. Kalau nunggu sempurna aku ngga akan bisa lulus-lulus. Jadi itulah mengapa ada sub bab kesimpulan dan saran di akhir laporan tesis.

Jadi, mari mensyukuri fakta bahwa aku toh, tetap menyelesaikan tesisku semampu yang aku bisa, sebaik yang aku bisa, terlepas tesisku sempurna atau ngga.

YEAY.

 

Hari itu aku wisuda bareng Nia, temanku saat S1 dan bertemu lagi saat S2. Nia bisa dibilang adalah teman yang setia menemaniku melewati hari-hari suram ngelab. Kami saling bantu, saling support, saling menguatkan. Ya walaupun kadang juga saling galau wkwk.

Duh, kalau diingat sekarang rasanya aku kangen dia.

 

Tujuh bulan yang aku lalui dengan mengisi hari-hari bersama tesis, menurutku adalah cobaan dibalik sebuah anugerah. Kalau boleh dikatakan beruntung, menurutku aku sangat beruntung. Aku beruntung karena dapat topik tesis yang linear dengan topik skripsiku dulu.

Topik skripsiku dulu adalah perencanaan fishway, fish ladder, betapa aku bangga banget dengan skripsiku itu karena menjadi yang pertama di jurusanku. Sesuai cita-citaku, aku pengen bikin skripsi yang anti mainstream, yang jarang ada di perpustakaan, dan terwujudlah. Bukan cuma jarang, melainkan ngga ada. Jadi aku sangat bangga dengan diriku sendiri waktu itu, sampai sekarang juga sih, kalau tiba-tiba teringat.

Lalu ketika sekolah pasca, bagaikan dapat rejeki nomplok, aku dibolehkan ‘nimbrung’ ke penelitian profesorku. Begitu beliau bercerita akan membuat model fisik fishway di lab, aku tanpa pikir panjang mengajukan diri untuk membantu dan meminta ijin untuk diperbolehkan menggunakan modelnya untuk penelitian tesis. Kebetulan juga tipe fishway yang akan dimodelkan sama dengan tipe fishway yang aku rencanakan untuk skripsi. Bagai gayung bersambut ya kan.

 

Tapi ingat, tanpa pikir panjang.

Tanpa pikir panjang.

TANPA PIKIR PANJANG.

Aku ngga tahu itulah awal mula segala pikiran kelam yang aku rasakan selama 7 bulan HAHA.

 


Pagi hingga sore aku habiskan waktuku di lab setiap hari. Bahkan sabtu dan minggu juga.

Belum kalau diliatin dosen dari lantai dua, aku langsung insecure sumpah.

Belum kalau denger komentar dosen dari pihak ketiga, helaan napas berat langsung keluar.

Belum ketika aku baru tahu kalau aku salah dalam penggunaan alatnya dan sadarnya ketika sudah beberapa langkah penelitian berjalan.

Ya Allah.

 

Aku mau cerita nih, soal alat pengukur kecepatan. Kebetulan alat ini tergolong baru untuk kampusku saat itu kuliah S2, ITS. Tapi ngga untuk kampusku kuliah S1, UB.

Waktu itu hari selasa bulan Januari, aku memutuskan untuk ke UB karena aku ingin mencari referensi di perpus pusat UB dan kalau beruntung ya ketemu dosen pembimbing skripsiku. Aku jadi ke perpus, aku pun bertemu dengan dosbingku yang sungguh sangat supportive. Awalnya aku hanya ingin mencari tentang teori perhitungan hidrauliknya, tapi yang aku dapatkan apa? Ya, kekeliruanku menggunakan alat dan itu fatal!!

Sumpah rasanya aku mau nangis aja tuh, sore hari di UB, tapi aku tahan. Perjalanan pulangku dengan kereta pun aku ngerasa sedih sesedih-sedihnya. Tapi aku mencoba menghibur diri sendiri, “ngga apa-apa, lebih baik tahu sekarang daripada tahu waktu semua udah kelar, ngga apa-apa….ngga apa-apa….” itu terus yang aku ulang-ulang di dalam hati, seolah mantra.


Besok paginya aku ke lab dengan oleh-oleh di tangan untuk kedua bapak laboran sambil ngomong “bapaakkk, kemarin pake alatnya salaaaahh.”

Sungguh 2 bulan sebelumnya yang terbuang sia-sia.

 

Tentu aku tidak secantik ini saat galau di kereta


Dan untuk selanjutnya hari-hariku aku dedikasikan untuk fishway tercinta.

Nyiapin alat-alat, nyiapin laptop, nyalain lampu, nyalain pompa air. Sampai Mbak Nov tuh, bilang “kalo lab sepi berarti kamu ngga di kampus, Yan, ngga nge-running.”

Wkwkwk.

Ya gimana ya, emang pompa air yang dipake tuh, yang gede. Jadi pas dinyalain suaranya bergemuruh berisik banget.

 

Ada banyak faktor misal aku ngga nge-run penelitianku. Bisa jadi aku ada urusan kerja (kerjaan tetep ya gaes, walaupun tesis runyem kerjaan ngga boleh ditinggal) atau peralihan ke alternatif pemodelan selanjutnya, jadi perlu waktu untuk laboran membantu menyiapkan.

Peran laboran ini sangat krusial bagiku. Sangat penting!! Tanpa beliau aku bakal kesusahan sih. Big thanks to pak War dan pak Mar. Special thanks ya buat pak War HAHA. Beliau sangat mau aku repotin huhu.

 

Terus di masa-masa penelitianku ini, aku juga sempat beli ikan. Ikan hias.

Tahu ngga sih, meme tentang “How The Proposal Thesis Look Like” vs “How The Thesis Turn Out”. Itu ya…..sumpah relate banget bahahahahhakjsdjksjfkhsdhjhgfk.

Jadi, aku berpikir akan bisa tahu jumlah ikan yang akan berhasil berenang melalui fishway plus lama mereka berenang untuk masing-masing pemodelan. Wes tah, di kepalaku tuh, ini grand idea banget!! Aku ngerasa tesisku akan sangat bagus. WOW PEDE.

 

Maka pergilah aku ke pasar ikan di Gunungsari.

Pertama aku dengan orang tuaku. Beli sekantong ikan isi 6, ukuran ikannya 10-15 cm. Nyampek kosan aku taruh di ember. Besok paginya semua mati. Mengapung gitu di air. Ya Allah.

Akhirnya aku beli lagi ikan. Kali ini sekalian beli alat sirkulasi udara, apasih namanya yang bikin gelembung-gelembung di dalam air itulah ya pokok. Berharap dengan adanya alat itu, para ikan ini akan tahan lama sampai waktunya tiba aku eksploitasi.

 

Begitu aku eksploitasi, JDER mereka ngga mau berenang di fishway wkwkwkkwldjksfkdhsf. Sebagai gambaran nih ya, arus aliran fishway emang cukup kenceng, jadi ikannya ini hanya mau berenang di kolam penenang yang ada di hilir. Mereka ngga mau berenang ngelawan arus menuju hulu, ngga….bukan ngga mau, MEREKA NGGA BISA.

 

Tapi tetep aja tuh, aku berkali-kali beli ikan. Aku pantang menyerah bangetlah pokok. Pokok aku ingin apa yang ada di kepalaku terealisasikan. Jadi aku beli lagi ikan dan memohon kepada mereka agar mau berenang di fishway. Dan hasilnya? YA GAMAULAH TETEP GOBLOOOOJDFJDKHFJDHFKJHDKF.

 

“Haduh Dyan, itu kan, ikan hias. Mereka terbiasa berenang cantik di akuarium terus tiba-tiba kamu suruh mereka berenang di tempat yang arusnya deres gitu ya ngga maulah mereka.” kata Nia, setelah kantong ikan yang ke-4 yang aku beli dan semua ikan itu udah mati. Ada yang terhantam arus fishway, ada yang terbawa arus air ke hilir hingga menggelepar, ada yang tahu-tahu dia berenangnya miring, mungkin serangan jantung. Ya Allah.

  

“Coba ikan lele Mbak.” Bu Linda memberi saran. Beliau adalah dosenku ketika S1, dosen pembimbing akademik, dan dosen penguji skripsiku. Saat itu beliau sedang menempuh studi S3 di ITS. Beberapa kali aku meminta saran ke beliau soal penelitianku dan beliau dengan baik hati memberikan insight. Salah satunya ya ide ikan lele ini.

 

Sebenarnya sejak awal aku paham juga apa yang diucap Nia. Teorinya ikan yang berenang di fishway adalah ikan yang terbiasa dengan alam, yang kuat berenang dengan kondisi arus sungai, contohnya ikan sepat kalau di Indonesia, atau salmon. Tapi masalahnya di pasar ikan Gunungsari ngga ada yang jual ikan modelan sepat itu. Masa iya aku harus cari sendiri di sungai? Itu kan, ngga mungkin. Jadi ikan hias adalah pilihan alternatifku.

 

Akhirnya aku ngikutin ide bu Linda. Beliau bahkan dengan sangat baiknya membelikan sekantong ikan lele berukuran 10-15 cm. “Nih, Mbak.”

Aku sangat menaruh harap pada para ikan lele ini. Seolah hidup dan matiku bergantung pada mereka.

Ikan lele ada yang hidup di sungai.

Ikan lele jelas lebih kuat dibanding ikan hias.

Ikan lele bisa!!

Dengan mengucap bismillah aku memasukkan sepuluh ekor ikan lele di kolam penenang fishway. Berharap mereka akan punya insting untuk berenang ke hulu. Ya explore gitu kek, ngga bosen apa di hilir mulu.

Tapi sekali lagi apa yang aku harapkan dan bayangkan ngga terjadi. Nasib para ikan lele itu sama dengan para ikan hias yang telah gugur terlebih dahulu.

 

Lalu aku mengevaluasi ideku itu. Mencari jawaban dengan baca lagi beberapa jurnal dan berdiskusi dengan professor dan orang-orang yang lebih tinggi ilmunya. Dan aku pun tersadar bahwa skala benda mati (model fishway) akan berbeda dengan skala mahkluk hidup (ikan). Selama ini patokanku mencari ukuran ikan yang aku kira akan mampu berenang di sana adalah skala benda mati.

“Lagian itu ranahnya S3. Nanti aja itu kalau lanjut S3.” ucap professor setelah menjelaskan cukup panjang step by step yang harus aku lakukan kalau ideku ini ingin berhasil.

Ya Allah pak, ya kenapa gituloh tidak memberiku insight ini ketika sidang proposal huhuhuhu. Kenapa harus nunggu korban ikan berguguran?

Semoga di akhirat nanti para ikan ini ngga membalasku ya


Ada beberapa faktor yang akhirnya harus aku coret di penelitianku selain ikan seperti cerita di atas. Ya gimana ya, rencana manusia tuh, kan muluk banget ya, tapi akhirnya tetep aja Tuhan yang menentukan.

 

The meme I am talking about LMAO

Ada banyak banget juga sebenernya pesan moral yang tersampaikan, kalau dipikir-pikir dengan pikiran tenang tidak ada beban, selama aku nge-run penelitian. Tapi satu yang bener-bener aku pegang teguh sampek akhir adalah “jangan pernah berhenti, kalau ngga kuat jalan biasa ngesot aja ngga apa-apa, yang penting jangan pernah berhenti.”

Dan rasanya aku bener-bener kayak orang ngesot selama aku nge-run penelitian.

Penelitianku kayak ngga berujung, paling lama dibanding teman-temanku yang lain. Capek fisik? Iya. Capek mental? Oh, tentu saja. Tapi aku coba bertahan, walaupun rasanya ngegas motor menuju kampus tuh, rasanya berat banget, aku ngga boleh berhenti.

 

Lab udah seperti kayak rumah keduaku selama periode November 2018 – Maret 2019. Sabtu dan Minggu aku tetap ke lab kalau diijinkan laboran, dan alhamdulillah seringnya diijinkan. Aku ngga ke kantor kalau ngga ada hal urgent (diskusi, rapat, paparan, tinjau lokasi, dsb), semua kerjaan sebisa mungkin aku kontrol dari jauh. Aku skip juga beberapa acara yang diadakan kantor. Aku dedikasikan hidupku 24/7 untuk tesis.

Sampai salah satu rekan berkata “kamu nih, karyawan sini atau bukan, sih? Kok ngga pernah keliatan.”

Aku cuma nyengir wkwkwk.

Yang penting tanggung jawab kerjaanku kan, kelar ya.

 

Tapi kalau dipikir-pikir sekarang, dengan waktu kuliah 2 tahun itu, 2017-2019, dan banyaknya project yang aku handle di kantor (aku sempet bikin list project yang aku handle di tahun 2017-2019 dan aku bengong sendiri saking kagetnya karena sebanyak itu!), rasanya mustahil aku bisa handle semua. Tapi nyatanya semua bisa teratasi. Aku sendiri juga bingung. Mana dulu kan, semua aku ngerjain sendiri yang berkaitan dengan bidangku, ngga ada asisten.

Bahkan aku masih sempet baca novel atau nonton drama!!

“Mbak, aku heran sih, sama kamu. Kamu kuliah sambil kerja, tapi masih sempet nonton drama dan liburan.” kata temanku suatu waktu, ketika kami lagi makan siang di kantin.

“Iya juga ya.”

Jujur aku bingung juga soal kemampuan manajemenku ini.

Tentu saja ini semua berkat doa orang tua yang menyertai sih, ya.

 

Makanya setelah mengalami masa-masa suram itu, aku akan sangat ngga setuju orang yang akan berkata bahwa kuliah S2 lebih mudah dibanding S1. Asli sering banget dulu tuh, sebelum lanjut kuliah orang-orang pada bilang begitu. Tapi setelah aku mengalaminya….HOLY MOTHER FJFJDHFJHDJFH.

“Yang Namanya menuntut ilmu makin tinggi ilmu yang dituntut ya makin susah, Mbak.” kata bu Linda suatu waktu.

Dan aku setuju +999999%

 

Lalu setelah berakhirnya hari-hari ngelabku di tanggal 15 Maret 2019, aku mulai Menyusun laporan. Pusingnya jadi double karena COOYYY GRAFIKNYA JELEK BANGET HAHAHAHA.

Ribuan kolom dan baris angka di sheet excel yang aku filter menghasilkan grafik yang…hmmm…..kenapa ngga sebagus hasil dari jurnal orang-orang yang aku baca?

Di posisi ini aku mulai merapal mantra lagi tiap kali ragu mulai kembali menyergap pikiran, “Its okay…..kan model penelitiannya beda, faktor yang mempengaruhi juga beda, jadi hasil beda itu adalah hal wajar. Tenang, ngga ada yang salah dari penelitianmu. Semua udah kamu pastikan benar sesuai aturan di awal, Yan.”  

 

Aku dan fishway yang aku cinta sekaligus aku benci

Nyaris 4 bulan aku berkutat dengan penyusunan laporan tesis. Asistensi ke dosbing. Baca banyak buku, yang kadang malah bikin bingung wkwk, sumpah aku ngga paham otakku kenapa ngga pinter sih?? Plus masih harus tetap ngerjain kerjaan yang saat itu juga lagi ribet.

Aku ngejar banget lulus tepat waktu, 2 tahun, karena ngga mau lagi tabunganku aku buat bayar spp haha. Ngga deng. Ya lebih ke beban moral aja sebenernya ke kantor, karena selama 2 tahun itu bener-bener aku dikasih kelonggaran banget buat ngga ngantor (asal kerjaan beres) dan sesekali ‘memaksa’ rekan kerja untuk nurutin jadwalku.

“Mbak, besok paparan ke dinas bisa ngga?”

“Hmm, besok aku ada jadwal di kampus. Gimana kalo lusa?”

Atau;

“Mbak ini dinas mau rapat, Mbak Dyan bisanya kapan?”

Atau;

“Mbak kemarin udah koordinasi sama dinas dan mereka bisa besok, Mbak Dyan beneran bisa ya kan?”

Jadi, misal aku ngga segera lulus aku akan semakin ngerasa ngga enak sama rekan kerjaku. BIG THANKS TO ALL OF MY WORKMATES.

 

Jadilah 4 bulan sebelum sidang tesis aku nyaris tiap hari begadang (ditambah bumbu-bumbu pikiran insecure tentu saja). Rajin skincare night routine tapi ngga tidur sama aja dengan orang berpuasa tapi ngga sholat.

Jerawat satu per satu muncul. Begitu hilang, bekasnya tetap nangkring di kulit.

“Dok, ini kok akhir-akhir ini saya sering jerawatan ya?” tanyaku ke dokter spkk ketika jadwal konsul.

“Sudah rajin minum air putih?”

“Sudah Dok.”

“Tidurnya cukup kan ya?”

“Nnngg…..itu ngefek ya Dok?”

“Iya. Kenapa? Sering begadang?”

“Iya Dok.”

“Tuntutan kerjaan?”

“Ngetesis Dok.”

Dokternya nyengir. “Usahakan tetap tidur ya.”

 

Selain jerawat aku kayaknya juga kena serangan psikologis. Ngga tahu ya bener atau ngga, tapi aku sempet banget ngerasa telingaku berdenging 24 jam berhari-hari dan ini mengganggu banget. Aku takut telingaku kenapa-kenapa gitu kan, akhirnya aku ke THT. Lalu begitu diperiksa; “Ngga apa-apa gini loh.” kata sang dokter.

Nunggu giliran dipanggil nyaris 2 jam hanya untuk mendengar diagnosa itu!

“Seriusan Dok?” tanyaku balik, ngga percaya.

“Iya beneran. Telinga kamu sehat.”

Ngga mungkinlah ya dokter di rumah sakit ini salah, karena aku sengaja pilih RS swasta yang reviewnya bagus.

“Tapi berdenging terus nih Dok, saya ngerasa keganggu.”

“Tidurnya cukup?”

“……. Ngefek ya Dok?”

“Iya dong. Sering lembur ya?”

“Iya sih, Dok. Saya lembur akhir-akhir ini.”

“Kerjaannya shift malem?”

“Bukan Dok, ngerjain tesis.”

Sang dokter cuma tersenyum. “Coba tidur cukup dulu ya. Ini ngga saya resepkan obat dulu karena masalahnya bukan di fisik telinga kamu. Coba jangan terlalu stress juga.”

Jadilah dua dokter yang aku beri informasi kalo aku lagi ngetesis.

Oh, tiga deng, sama dokter peeling. Kalau habis jadwal peeling mukaku ngga boleh kena panas atau keringat selama 10 hari, sedangkan kalau ngelab ngga mungkin ngga berkeringat.

“Tapi dok, kalau keringat saya ngga bisa menghindari.” kataku, teringat aktivitas fisik yang aku lakukan di lab dan kondisi lab yang tentu saja ngga ber-AC.

“Kenapa?”

“Saya lagi penelitian tesis Dok, labnya bikin gerah.”

“Kalau gitu sering-sering segera diserap tissue aja ya. Sekali pakai langsung buang.”

 

Total pengorbanan selama 7 bulan itu akhirnya terbayar tuntas di tanggal 9 Juli 2019. Hari selasa aku sidang tesis. Jujur aku sangat ngerasa ngga siap, aku ragu apakah hasilku bisa diterima atau ngga. Tapi aku juga udah ngerasa cukup. Aku pengen balik berjalan normal, bukan ngesot lagi.

Akhirnya pagi di hari selasa itu, aku dan Nia berangkat ke kampus naik taksi online dengan perasaan campur aduk.

Mas sopirnya memutar siaran radio pagi. Suara penyiarnya terdengar merdu, tapi ngga sanggup mengusir rasa gelisahku. Lalu muncul iklan lawak di radio. Lawakannya lucu, tapi aku ngga sanggup ketawa. Mas sopirnya langsung ketawa ngakak ngedengerin iklan lawak itu.

Anjirlah, kontras banget sumpah suasana hati antara penumpang dan sopir. Begitu sampai di kampus, mas sopirnya berkata “Goodluck ya Mbak.”

Aku kaget. Tapi tetap aku paksakan senyum sambil bilang makasih. Mungkin sedari tadi masnya ngeliat muka penumpangnya pucet kali ya wkwkwkwk.

 

Kampus pagi itu terasa berbeda. Aku seperti melangkah ke rumah jagal yang akan merenggut nyawaku. Perasaan yang sama ketika aku berangkat ke kampus untuk sidang skripsi di tanggal 1 Juli 2015 silam, waktu itu hari rabu dan waktu Ramadhan pula.

Siapa sih, yang menyangka kalau 4 tahun kemudian aku akan mengalami hal yang sama? Aku pun saat itu ngga terpikirkan untuk melewati sidang dua kali dalam hidupku.

 

Sebelum aku dan Nia ke ruang sidang pascasarjana, kami ke ruang administrasi dulu. Harus absen dan ngurusin printilan-printilan administrative.

“Ini Dyan, tanda tangan di sini enam kali.” kata Pak Robin sambil menyerahkan dan menunjuk kertas di hadapanku.

“Ya Pak.”

Ada beberapa halaman yang terjepret. Tertera namaku, nomor mahasiswa, judul tesisku, nama dosen, dan space yang harus aku tanda tangani sebelum di bawahnya berisikan tabel kosong yang entah untuk apa, aku lupa.

Lalu aku pun tanda tangan enam kali di situ.

 

Tanda tangan.

Enam kali.

 

“LOH YA ALLAH DYAN, KOK GITU???” suara Pak Robin mengagetkanku.

“Hah kenapa Pak?” aku bingung. Kenapa sih???

“Tanda tangan enam kali. Di masing-masing lembar Dyan, bukan dijejer begitu.”

Aku langsung ngeliat ke arah kertasku. ASTAGA!!!

“Ya Allah Pak. Pak maaf maaf, saya ngeblank.” aku buru-buru minta maaf. Sumpah aku sendiri juga kaget ngeliat apa yang sudah aku lakukan.

 

Jadi ada 6 lembar kertas yang dijepret jadi satu oleh Pak Robin. Maksud Pak Robin menyuruhku tanda tangan 6 kali adalah ya tanda tangan di setiap lembarnya, bukan di lembar pertama aja dan malah tanda tangan berjejer ke samping seperti yang aku lakukan.

 

“Dyan? Kamu ngga apa-apa kan?” tanya Nia. “Ini kamu loh, yang logikanya selalu main. Kalau Nadia atau Anin sih, maklum. Ini kamu loh.”

Aku cuma menghela napas mendengar ucapan Nia, sambil kembali sibuk tanda tangan dengan cara yang benar.

“Haduh Dyan…Dyan…..” Pak Robin masih ketawa.

Aku menyerahkan berkas yang sudah aku tanda tangani. “Berarti kurang satu ya Pak, yang belum saya tanda tangani.”

“Kok bisa?” tanya Pak Robin.

“Lah ini kan yang lembar pertama salah Pak. Masa ngga dibenerin?”

“Udah biarin gini aja. Biar dosennya ngeliat kalo kamu nervous.”

“Ya Allah Pak…plis jangan.” aku memelas.

Pak Robin malah ngefoto lembar pertama laknat itu. “Update ah, ada mahasiswa pasca yang saking nervousnya sampek tandatangan begini hahahahha.”

“Pak jangan dong.”

“Tenang aja nanti namanya saya sensor. Udah gini aja, printer saya rusak.”

Halah, alasan doang emang Pak Robin.

Jadi yaudahlah aku pasrah aja.

 


Ada dua fase yang harus aku lalui di hari itu, seminar hasil dan sidang tesis. Ngga banyak yang datang sebagai peserta seminar, hanya beberapa adek tingkat dan Anin, teman kuliahku juga yang udah lulus duluan. Nyaris 45 menit aku habiskan untuk seminar yang isinya aku presentasi dan dilanjut dengan tanya jawab antara aku dan peserta seminar.

Begitu tahap pertama dinyatakan layak oleh dosen, akhirnya lanjut ke fase kedua, sidang.

Aku bener-bener tahan napas banget hari itu. Bahkan saat aku ngetik ini sekarang, aku masih inget gimana gugupnya aku hari itu. Aku ingin segalanya berakhir dengan cepat, tapi aku juga ngga mau harus melewati yang Namanya sidang ini, tapi gimana bisa lulus kalo gitu?? Pusing.

 

Aku dapat giliran pertama. Empat dosen di hadapanku terlihat berbahaya dan siap memakan aku hidup-hidup. Aku menghembuskan napas pelan, oke…..you’ve worked hard Yan, usahamu akan terbayar dengan sangat baik hari ini. Hang in there, sedikit lagi, hang in there.

 

Pak Damar memulai sesi pertanyaannya. Beliau dosen penguji.

“Akhirnya sidang ya, setelah ngelab lama banget.” komentar pertama beliau. Aku meringis. Beliau salah satu dosen yang ngajarin aku ngebaca grafik hasil pengukuran pake alat yang aku certain salah pemakaian di awal. Jadi sebelum aku ke dosenku yang di UB, aku minta tolong ajarin beliau.

Lalu beliau mulai bertanya.

Aku berharap banget beliau ngga tanya hal yang belum aku pahami 100%.

Doaku terkabul. Beliau hanya bertanya sedikit dan mengomentari hasil grafikku.

Ya Allah.

 

Lalu lanjut dosen penguji ke dua, Pak Mahe.

“Berapa bulan kemarin ngelab? Lama banget loh.” beliau juga mengomentari hal tersebut. Akhirnya aku kembali menjelaskan kenapa aku butuh waktu lama buat ngelab.

Aku kembali berdoa agar ngga ditanya yang aneh-aneh.

Doaku kembali terkabul. Beliau hanya menanyakan ‘hal dasar’ yang sebenarnya juga bisa dijadikan alternatif penelitian. Apa yang disampaikan beliau aku setuju, karena aku juga sempat terpikirkan hal yang sama saat menyusun proposal (waktu seminar proposal beliau ngga ada). Tapi karena beberapa faktor, setelah berdiskusi dengan professor, akhirnya aku memutuskan mencoretnya.

“Tambahin aja nanti di saran.” kalimat terakhir yang beliau ucapkan padaku.

“Siap Pak.”

Aku bernapas lega.

Ya Allah.

 

“Sekarang giliran Pak Wasis. Silakan Pak.” Prof. Nadj mempersilakan beliau. Sebenarnya beliau adalah dosbing, tapi tentu saja dosbing juga berhak bertanya. DAN JUJUR AKU PALING WASPADA TERHADAP BELIAU!!

Gimana ya, aku selalu ngerasa beliau skeptis dengan kemampuanku, dan kalau memang benar begitu tentu aku ngga menyalahkan itu karena toh, aku memang ngga pernah bisa memenuhi ekspektasi beliau. Tapi untungnya selama bimbingan beliau mau mengarahkan dengan ‘sabar’. Walaupun sebelum bimbingan aku harus menata hati dan mental dulu berkali-kali.

Bahkan pernah suatu waktu ketika asistensi, aku menanyakan suatu teori, lalu beliau menjelaskan secara singkat dan berkata, "ini  ngga diajarkan di S1 maupun S2."

Oke, jadi gimana pak? saya harus mempelajari S berapa?


Dan sekarang beliau akan menanyaiku.

“Ngga ada Pak dari saya. Kita sudah diskusi cukup kan, ya.” kata Pak Wasis sambil melihat ke arahku.

YA ALLAH SUMPAH RASANYA MAU TERIAK!!

The big obstacle…..Ya Allah beneran saat itu aku langsung bisa napas lega luar biasa!!

Prof Nadj, selaku dosbing juga, kemudian hanya bertanya kesulitan apa yang aku rasakan selama ngerjain tesis. Mulai dari ngelab hingga bikin laporan.

 

Begitu aku selesai, aku pun ke luar ruangan dan memanggil Nia. Ketika aku buka pintu, Nia dan Anin yang lagi ngobrol kaget.

“LOH KOK UDAHAN??” ucap mereka berdua kompak.

“Loh emang berapa menit aku di dalem?”

Anin ngeliat arlojinya. “Ngga sampek 20 menit Mbak.”

“Hah??” aku mengernyit heran sekaligus kaget.

 

Jadi, total yang aku habiskan di dalam untuk sidang ngga sampai 20 menit!!

COY BAYANGIN COOOYYYY.

Sumpah ya, aku kira sidang skripsi dulu yang aku lewati hanya dalam waktu 45 menit udah menjadi hal yang paling ajaib dalam hidupku, karena rata-rata temanku menghabiskan waktu minimal 1,5 jam bahkan ada yang sampai 3 jam, tapi TERNYATA SIDANG TESIS MALAH CUMA 20 MENIT???? TUHAN TERKADANG SEBERCANDA ITU SAMA HIDUPKU.

 

Kelar sidang aku telepon kedua orang tuaku.

Aku makan bakso terenak dalam hidupku.

Vidcallan sama Nadia, teman kuliahku juga yang lulus duluan bareng Anin, yang lagi ada di kantornya di Malang.

Aku pulang dengan hati ringan.

Aku pun akhirnya bisa tidur dengan nyenyak.

 

Mulai saat itu skincare night routine-ku tidak akan sia-sia


9 Juli 2019 bener-bener hari yang berkah bagiku. Ngga banyak revisi juga, hanya revisi soal kerapian penyusunan laporan, ngga ada yang lain. THE BEST DAY EVER after the long 2 years of sorrow haha.

Hal penting lainnya yang aku ingat bertepatan dengan momen aku lulus sidang adalah Baekhyun’s first solo album. Baekhyun release album dia di tanggal 10 Juli 2019. Sehari sebelumnya aku lulus sidang, aku menuntaskan 60% permasalahan hidupku saat itu. Sehari sebelumnya aku berhasil menyelesaikan masterpieceku juga. Baekhyun, I was the first winner at that moment.

 


Tapi kenapa kok 60%?

Ya karena aku harus revisian dulu (walaupun ngga banyak), harus submit jurnal internesyenel dulu, harus ina ini itu dan segala macam printilan yang harus dikerjakan agar bisa mengejar yudisium. Walaupun submit jurnal itu juga bikin aku ketar-ketir juga, tapi bagiku setidaknya bukan halangan terbesar layaknya sidang tesis huhuhuhu.

Agustus 2019 minggu pertama, aku lupa tanggal berapa pokok awal Agustus banget, beban hidupku 100% kelar!!

 

“Mbak, kamu mau hadiah apa lulus S2?” tanya ibuku lewat chat suatu waktu.

“Ijinin aku nonton konser EXO lagi aja aku ngga apa-apa 😊” karena dulu begitu lulus S1 kado terindah untukku yaitu bisa nonton konser EXO pake gaji sendiri. Dan kebetulan waktu itu, setelah aku lulus S2, EXO akan konser lagi di Jakarta. Ini jadi kayak misal aku pengen nonton konser EXO harus pusing mikirin skripsi atau tesis dulu gituloh.

Tapi jawaban ibuku bikin aku kecewa. “Ngga usah ya Mbak 😊

Yeeee tahu gitu kan, gausah tanya ya.

Sejujurnya aku udah tahu sih, jawaban ibuku, Cuma ya coba-coba lagi aja kan ya, siapa tahu tiba-tiba dapat ijin. Tapi rupanya aku hanya menabur garam di atas luka

 

Jadi, aku benar-benar bagaikan melihat piala Goblet of Fire setelah sekian lama kebingungan dan berusaha menyelamatkan diri dari labirin tanaman ganas.





***


Setelah ribuan wisudawan mendengarkan pidato rektor di hari itu, kini saatnya pembagian ijazah. Aku yang dari awal sibuk menghabiskan waktu mengobrol dengan Nia mulai berdiri dan berbaris melangkah menuju tangga podium.

Kepalaku terasa ringan. Sungguh aku masih tidak menyangka aku berakhir di sini, menanti giliran untuk mendapatkan ijazah, setelah begitu banyak hal yang aku alami dan aku dapatkan beberapa bulan sebelumnya.

 

Namaku terpanggil, beserta nama prodi dan predikat kelulusanku.

Aku meniti tangga dengan hati-hati. Kepala jurusan menyambutku dengan senyuman. Kami berjabat tangan.

“Selamat ya.” ucap beliau.

“Terima kasih, Pak.” Tanganku terasa sedikit berkeringat.

Lalu aku lanjut berjalan ke arah rektor.

Gugup. Aku berjalan dengan perasaan yang benar-benar gugup. Rasanya aku ingin menangis. Fakta bahwa aku bisa dan berhasil mengenyam pendidikan setinggi ini dan berjalan seperti ini untuk kedua kalinya membuatku ingin menangis.

Rektor menyambutku juga dengan senyuman dan ucapan selamat. Kami berjabat tangan. Aku tersenyum sembari mengucapkan terima kasih. Tangan kiriku memegang erat ijazah yang terasa ringan namun berat itu. Aku pegang erat, memastikan ini semua bukan hanya mimpi.

 

Nama demi nama terpanggil. Aku kembali berjalan menuju kursiku sambil menunduk dan memejamkan mata sekilas. Lalu aku buka mataku, aku angkat kepalaku, yang terlihat adalah para wisudawan dan orang tua yang duduk di kursinya. Aku menoleh ke kanan, para kepala jurusan dan petinggi kampus juga duduk di kursinya di atas sana.

 

Aku duduk di kursiku, menghembuskan napas sambil memandang ijazah di tanganku, memandang huruf yang dicetak tebal dan besar di sana, Ijazah Magister.

Ini bukan mimpi. Ketika aku membuka mataku tadi, yang aku lihat bukanlah suasana lab dan model fishway, yang aku dengar juga bukan suara gemuruh aliran air dan mesin pompa yang beradu.

 

Aku mengusap pelan huruf bercetak tebal itu, lalu membukanya. Namaku tertera di atas selembar kertas di baliknya. Aku memandang lekat-lekat dua huruf tambahan di belakang namaku. Aku tersenyum.

Dyan, you’ve worked hard.

Dyan, you did well.

Dyan, thank you for never gives up.

Dyan, I am so proud of you.


Dyan, I cherish your hardworking.

  

A year ago, 22 September 2019. Thank you.



 

Share:

0 komentar