Who Knows, Mom.
Postingan ini aku tulis di sela-sela waktu yang seharusnya aku gunain buat nulis paper tentang geolistrik. Tapi memang dasar setan suka menghasut manusia, maka aku malah scrolling twitter dan menemukan sebuah pemikiran sebagian umat manusia.
Jauh sebelum aku membaca steller yang membahas topik ini, jauh sebelum aku ‘akhirnya’ tahu bahwa aku nggak sendiri dengan pemikiran ini, aku berpikir; “Gimana ya, nanti ketika aku punya anak, lalu aku nggak bisa merawat dia dengan baik? Memberikan segala kebutuhan dia dengan tepat? Mendidik dia sedemikian rupa hingga jadi anak baik? Siapa yang menjamin aku bakal jadi orang tua yang keren kelak?”
Biasanya aku mikirin hal ini pas di jalan, sambil motoran berangkat atau pulang kerja.
Ada beberapa yang pernah bilang ke aku, “Lah, ya makanya coba punya anak dulu, nanti pasti kamu ngerti, itu udah naluriah.”
Aku ingin misuh rasanya. Ya gimana elah belom nikah udah disuruh punya anak woy.
Hmm, baiklah…..naluriah?
Main internetnya kurang jauh apa gimana dah ya, udah banyak banget contoh kasus dimana anak kandung ditelantarkan orangtuanya sendiri.
Bisa jadi aku menjadi salah satu orang tua brengsek nantinya.
Bermula dari pemikiran di atas, maka muncul pemikiran lain; “Oh ya jelas, aku kudu nikah dulu lah ya sebelum jadi orang tua dan mengkhawatirkan hal tersebut. Nah, aku butuh nggak ya nikah?”
Kata ‘nikah’ tuh bagiku terasa berat. Bukan, bukan karena aku udah dihasut setan apa gimana ya tolong. Nikah tuh, bagiku lebih dari sekedar gimana nanti pas akad, resepsinya di gedung apa, nanti bajunya gimana, dan lain sebagainya.
Aku yakin banget, kalo aku nikah with someone whom I love, I will be happy in my wedding day. Tapi aku nggak yakin aku bakal bahagia setelahnya. Aku nggak tahu apakah aku sanggup menghadapi segala baik dan buruk the man whom I married for the rest of my life.
“Ya namanya biduk rumah tangga, pasti ada bertengkarnya Yan.”
Nah itu, pertanyaanku, apa nanti aku bakal fine aja dengan hal itu? Jangan sampai nih, hal sepele nantinya malah menjadi suatu hal yang tidak diinginkan.
Mental men, mental. Ya nggak lucu kan, begitu udah nikah, ada masalah dikit diumbar kemana-mana. Semua orang jadi tahu, dan menjadi bahan rumpi ibu-ibu sambil belanja sayur pagi-pagi.
Nggak bisa menyelesaikan masalah dengan baik, terus berlarut-larut, hingga menimbulkan drama pulang ke rumah orang tua. Orang tua yang semula berharap anaknya bahagia setelah menikah, malah susah dong kalo kayak gini.
“Ya tapi kamu nggak usah nunda lama-lama, ngapain sik?”
Memang ya ini kan lambe masyarakat nggak pernah ada habisnya buat ngurusin hidup orang lain. Ngapain katanya, ya mempersiapkan segala hal dengan sangat baiklah. Baik dari segi finansial maupun moral. Lo nikah tapi modal cinta doang apa ya kenyang?
Aku suka mikir, sekarang aku sendiri aja udah alhamdulillah bahagia, mampu mencukupi segala kebutuhan, tapi nanti kalau aku nikah, yakin nggak aku bakal sebahagia atau bahkan lebih dari ini?
Males banget nggak sih, kalau abis nikah malah hidup kita jadi downgrade?
“Ya kan, merintis dari bawah bersama-sama, Yan.”
NO WAY!
Beberapa hari yang lalu, pas aku scroll explore Instagram, ada postingan dari sebuah akun. Bercerita tentang seorang perempuan yang menikah muda, pun saat dia menikah, pasangannya juga nggak mapan-mapan banget. Lalu si perempuan ini bilang, dia bahagia walau hidup pas-pasan, dan berakhir mendorong yang lain buat nikah muda, jangan takut hidup pas-pasan.
And what I found was…….bunch of man want this kind of girl, said this girl is not a matre girl. I just…WOW….yang begini nih yang tidak mendorong siapapun untuk hidup menjadi lebih baik, ala kadarnya aja. Pantes negara ini tidak berkembang.
Ewh, aku mual baca komentar para lelaki macam begitu. Dude, those girls who called matre by you, aren’t. Its you who isn’t capable!!
Banyak banget sekarang konten-konten di internet yang menggembor-gemborkan buruan nikah, ayo nikah muda, nikah pilihan yang terbaik…bla bla bla, tanpa memandang penikmat konten mereka itu para remaja yang tahunya nikah itu asik banget, tiap hari romantis-romantisan dan ena-ena.
Oke, mungkin ini out of topic tulisanku ini sih (yang isinya emang a rant), tapi aku gatel juga pengen ngutarain pemikiranku soal ini.
Kenapa nikah selalu menjadi hal yang dipromosikan sebagai suatu hal yang mampu mengurangi angka tindak perzinaan? Kenapa cuma nikah yang terus digembor-gemborin sebagai jalan keluar terbaik?
Banyak banget selebgram “syar’i” nih yang memberi contoh dan mengajak. Apalagi waktu itu aku baca artikel soal gerakan Indonesia tanpa pacaran, jalan keluarnya nikah.
Dengan embel-embel di caption “pacaran romantis abis nikah” “aku waktu menikahi dia belum mapan, masih cari kerja sana-sini, tapi sekarang bla bla bla…” selebgram ini ‘menjual nikah muda’, dan langsung dah banyak banget para perempuan yang pengen banget buru dipinang dengan bismillah.
Terus, apa kabar jalan keluar lain buat nggak melakukan zina? Puasa. Melakukan hal yang bermanfaat yang bisa mengembangkan diri.
Menikah dengan alasan biar nggak zina tuh bagiku NGGAK BANGET. Nikah dengan alasan “Oh, I love him.” aja bagiku masih sangat perlu dipertimbangkan, apalagi ini…..hanya gara-gara urusan selangkangan? nikah? Errr……BIG NO!!
Oh, satu lagi. Aku pernah menemukan sebuah postingan juga di Instagram. Isinya kurang lebih begini;
“Laper? Ya makan. Haus? Ya minum. Bokek? Ya makanya nikah biar ada yang nafkahin.”
ANJNDJSFHJDSGHFJGDSJKFHJHF
Entah siapa yang ngebuat, bagiku yang ngepost dan yang mengamini nggak kalah gobloknya. Sorry nih kasar, tapi sumpah rasanya pengen banting HP waktu nggak sengaja buka postingan itu di Instagram.
Alasan-alasan kayak gitu tuh, yang ngebuat nilai dari sebuah pernikahan cetek banget. Sedangkal itu kah? Cuma biar bisa terhindar dari zina dan ena-ena halal, plus dinafkahi, orang pada berlomba-lomba buruan nikah.
Kenapa kalo bokek bukannya kerja aja???! Postingan itu tuh secara nggak langsung memandang rendah kaum perempuan. Dikira perempuan itu lemah, bego, dan nggak bisa berjuang hidup sendiri. Ironisnya, di postingan itu, banyak banget perempuan yang setuju. Kok mereka mau merendahkan diri sendiri begitu??? Aku sih NO!!
Okay, let’s back to the topic…
See, bagiku nikah nggak pernah sesimple itu pemikirannya. Realistis aja sih sebenernya hidup ini tuh. Walopun memang, Tuhan udah ngatur rejeki masing-masing orang, pernikahan mampu ngebuka pintu rejeki, tapi rejeki itu kata kerja, bukan kata benda.
Jadi nggak serta merta, abis nikah langsung duit berlimpah kek raja minyak arab. Dan emang banyak banget contoh kehidupan yang tidak semakin membaik setelah pernikahan, walaupun banyak juga yang membaik. Balik lagi, rejeki itu kata kerja.
Kan, ada baiknya mengisi amunisi sebaik mungkin sebelum perang.
Makanya, aku salut banget sama teman-temanku yang begitu berani mengambil langkah yang besar ini. Apa yang meyakinkan mereka kalau yang mereka nikahi benar-benar the one? Kalau mereka nggak bakal bosen dengan pasangan mereka? Kalau mereka would be fine for long long long time?
Karena manusia itu kan dinamis, berubah dari waktu ke waktu. Kalau berubah semakin baik ya alhamdulillah, tapi kalau nggak?
Dan teman-teman perempuanku yang udah pregnant, bahkan udah melahirkan, aku thumbs up banget buat mereka. Jauh dalam otakku nih, aku bertanya-tanya apa aku sanggup kayak mereka? Gimana nanti kalo aku baby blues? Ngeliat temen-temenku yang sudah seperti itu, walopun kita seumuran, aku merasa kita ada di dunia yang berbeda. Ya jelas sih tapi.
Karena udah jelas, mayoritas orang menikah nantinya pasti menginginkan keturunan, soalnya nanti kalo nggak bakal dinyinyirin tetangga atau teman-teman yang bacot, atau mungkin orangtua juga.
Katakan aku menikah, lalu memutuskan untuk nggak usah aja punya anak, toh dunia udah kebanyakan populasi manusia, so I don’t need to worry for how to raising child in a best way. Would my men accept it?
Atau keluarga besar apakah tidak akan nyinyir? Hidup dengan banyak ekspektasi banyak orang itu lelah.
Bagiku semua ini tuh absurd.
Aku nggak bisa ngeliat masa depanku dalam topik ini.
Karena memang aku nggak butuh saat ini.
Aku nggak mau mempercayakan kehidupanku ke tangan seseorang begitu aja.
Aku nggak mau menjalani hidupku hanya untuk memenuhi bacot orang-orang. Orang tanya “kapan nikah?” aku nikah, orang tanya “kapan punya anak?” aku punya anak.
“Tapi menikah itu menjalankan separuh agama, Yan.”
Ibadahku, biarkan jadi urusan aku sama Tuhan. Masih banyak jalan buat beribadah.
"Tapi kamu bukan termasuk umat Rasul kalo nggak nikah."
Aku yakin, yakin banget, agama nggak sedangkal itu. Agama nggak kayak orang-orang jaman sekarang yang dikit-dikit teriak kafir kalo nggak sejalan sama mereka.
Aku nggak, atau belum, melihat apa masa depanku setelah nikah. Mungkin dulu pas masih SMA, aku iya-iya aja dibilangin nikah ya, umur segini segini…biar nanti anakmu besok enak…bla bla bla. Tapi makin kesini, jelas aku makin berpikiran lain. Nikah bukan tujuan semua manusia seperti yang digembor-gemborkan beberapa orang. Kalau nikah itu tujuan hidup, terus abis nikah ntar apa?
Mungkin tulisan ini terlalu memandang sebuah pernikahan itu terlalu rumit, terlalu memikirkan hal-hal yang negative.
Skeptis.
Tapi memang ini yang aku pikirkan. Aku nggak mau nikah dengan alasan untuk memenuhi ekspektasi orang lain, dengan alasan “di umurmu segitu tuh, rahim udah siap banget”, dan alasan-alasan absurd segambreng lainnya, apalagi alasan biar bisa dapet nafkah! Nggak ya, sorry, insyaallah aku bisa cari nafkah buat diriku sendiri.
Nggak usahlah bawa-bawa kodrat wanita itu ini dan lain-lain….
Atau mungkin memang akunya aja yang belum nemuiin the one. Mungkin.
Mungkin juga karena tidak ada doa yang terselip dari bibirku soal ini, karena ngerasa ini bukan kebutuhan primer, makanya tidak terselip.
“Tapi, anak ibu mana ada yang nggak mau nikah? Semua pasti mau.”
Ya, kalopun nanti tulisan ini terbaca oleh seseorang yang berniat (ehm) menjadikan diriku temen hidup for the rest of his life, its okay, at least he knows what I thought about a marriage. Kali aja doi ntar nimbun emas dulu sebelum hidup denganku muehehehehe.
Kalo nggak ada, yaudah daku menimbun emas sendiri saja, I love myself.
PS: why I use that pic for this post? bcs what he thought just same with me, a marriage is a hard decision (that pic from a variety show The Butler episode one)
Tags:
Random Thought
0 komentar