Perdamaian Orang Dewasa
Aku suka banget lihatin orang-orang yang lalu lalang di tempat umum. Kadang di atas motor, aku ngendarain motor sambil ngeliatin sekitar, ngeliatin orang-orang sibuk dengan aktivitasnya. Ngeliatin tempat makan di pinggir jalan, ngeliatin bapak-bapak narik becak, ngeliatin abang ojek online tanya arah jalan….
Kadang, kalau pas nggak pulang, terus nggak tahu mau ngapain, aku pergi sendirian. Kadang ke mall, kadang ke tempat-tempat lain selain mall. Jalan-jalan sendiri, atau duduk di salah satu sudut foodcourt, ngeliatin orang-orang sambil ngabisin makananku.
“Gosh, thanks God, you aren’t here.” kata salah satu orang waktu kita ngobrol.
“Why?”
“Hahahaha.” malah ketawa dia, aku mah nggak nyambung maksudnya apa. Tapi sedetik kemudian aku baru ngeh.
“Heh, I am not a psycho who looking for a prey.”
Dia malah ketawa lagi.
Iya mungkin agak serem sih ya, diem-diem ngeliatin orang-orang begitu. Tapi toh aku liatinnya diem-diem, nggak gangguin siapapun. Orang-orang itu juga nggak tahu. Tapi mungkin disini ya letak seremnya itu, orang-orang nggak tahu kalo ada orang lain yang diem-diem merhatiin.
Tapi bagiku, dari merhatiin, ngeliatin orang-orang itu, ada rasa tersendiri. Nggak tahu, yang penting aku suka sama aktivitas ini.
![]() |
they didn't know that there's a young-adult girl who sat alone here and had eyes on them |
Hasil dari suka ngeliatin orang-orang itu, maka munculah pikiran; “aku tuh apa orang yang paling males ya di dunia ini?”
Lihat bapak-bapak masang tenda buat jualan, mas-mas yang nyebarin brosur sepeda motor, ibu-ibu yang nungguin stan jualannya, aku ngerasa aku orang yang paling males buat kerja.
Dari aktivitas ini juga, aku jadi sadar, kalau semua orang di dunia ini tuh pada dasarnya saling bertahan hidup. Mengerahkan semua yang mereka bisa supaya bisa bertahan hidup.
Waktu itu aku ngobrol sama temenku kuliah. Dia salah satu perempuan beruntung yang bekerja di BUMN yang sukanya diskriminasi gender di setiap info lowongan pekerjaan.
“Eh, gimana? Jadi mau ke proyek mana?” tanyaku waktu itu, sambil makan fried chicken.
“Alhamdulillah sih, yan, aku masih di Surabaya.”
Aku seneng dengernya. Tapi kemudian aku bingung, harus aku seneng? Maksudku, aku tahu problem dia apa. Aku sih, jelas senenglah dia masih stay di Surabaya, yang artinya ya aku masih ada temen buat maen. Tapi di satu sisi kayaknya aku jahat kalo aku seneng (?)
“Ya gimana ya, yaudah dijalanin aja. Aku takutnya tuh malah dianggep nggak bersyukur.”
Aku diem, sambil ngangguk-angguk, sambil ngunyah fried chickenku.
“Kan, ada tuh kalimat, yang buruk di matamu belum tentu buruk, dan sebaliknya.”
“Aku kalau jadi kamu, aku pasti mengeluh mulu isinya.” kataku.
Aku salut luar biasa sama satu temenku ini. Dia itu kadar positif di dalam pikirannya banyak banget. Nggak kayak aku. Bagiku, temenku ini udah begitu dewasa dengan perdamaian yang dia lakukan dengan dirinya sendiri itu. Bagiku, berdamai dengan diri sendiri itu yang paling susah.
Hampir 2 tahun aku kerja, dan hampir selama 2 tahun itu juga aku selalu merasa iri sama teman-temanku yang resign. Ini sebenernya kedengeran aneh, tapi I mean it.
“Kamu jangan di situlah mbak. Sayang banget, kamu pinter.” kata salah satu temenku dulu, sewaktu kita ngobrol di masjid abis sholat dhuhur. Nggak, aku nulis bagian ini bukan maksud biar orang-orang ikutan mikir aku pinter apa gimana, heck I am not that smart ass.
“Iya. Tunggulah ntar, aku biar makin pinter dulu disini.”
Sebuah keputusan yang mau nggak mau membuat aku untuk selalu melakukan perdamaian dengan diri sendiri.
Kemarin denger kabar kalau salah satu temen resign dari pekerjaannya yang sekarang. Aku bilang “Alhamdulillah, salah satu beban dia terangkat.”
Kemarin aku sama temen-temenku ngobrol di kakaotalk, ngomongin soal hidup kita sekarang, lingkungan kita sekarang, tentang dunia kerja yang kadang….atau mungkin sering abu-abu. Entah ekonominya yang abu-abu, entah sistem perusahaannya yang abu-abu.
“Susah ya, bertahan hidup tuh.” kataku.
Karena bagiku emang begitu adanya. Kerja biar bisa menyambung hidup dari bulan satu ke bulan berikutnya. Berdamai dengan keadaan yang abu-abu. Nggak tahu sampai kapan, yang penting berdamai terlebih dahulu dengan keadaan yang sekarang, sambil terus cari cara gimana bisa dapet jalan lain yang lebih cerah.
“Karena pada dasarnya kita semua di dunia ini tuh saling berusaha buat bertahan hidup.”
Beberapa bulan yang lalu, aku nontonin drama Chief Kim (please tonton ini drama bcs bagus b.g.t). Terus ada dialog yang kurang lebih begini:
“Sunbaenim, do you know how the company run?”
“Yes, I do. Of course. I’ve been there for years.”
“Why you don’t do something?”
“Like what? What an employee who doesn’t have position can do?”
“…….”
“It's not like I agree with the system. Hhh….each morning before I leave home for work, I take out my guts and put them in the fridge. I get upset every single day. But what can I do? I have to make a living anw.”
Waktu episode ini, aku mengangguk setuju. I mean, I knew what he felt, ya walopun in cuma drama ya kan, tapi sangat relatable. Dia memilih berdamai, blind his eyes. Dia memilih yaudah, biarin aja sistem perusahaan bobrok juga bodo amat, yang penting dia menyelesaikan pekerjaannya sebagaimana mestinya, dan bisa bertahan hidup lebih lama lagi. How relatable.
Btw, dari sekian banyak macam orang yang suka aku liatin, aku suka yang paling lama kalo ngeliatin anak kecil atau anak sekolahan. Masih pake seragam, cara jalan mereka terlihat ringan banget. I wonder what would they do after school. Pergi les? Ngecengin gebetan yang lagi main futsal di lapangan sekolah? Ngerjain PR? I want back to that time. Ketika tidak harus pusing-pusing untuk bertahan hidup. Palingan cuma mikir gimana cara bertahan hidup dari ulangan kimia dan nggak kena remed.
Tags:
Random Thought
1 komentar
Semakin kesini, aku juga banyak belajar dari orang2 disekeliling mbak, yang akhirnya buat nyadar diri dan bersyukur dengan apa yang ada saat ini, :") Semangat mbak Dyan ^^ Awalnya kadang aku juga envy lihat temen2 pada kerja keknya sejahtera, tapi setelah ada meet up bulanan lihat beban mereka rasanya ya Allah ga bersyukur karena aku dikasih tempat yang bebannya ga seberat itu, yang ternyata menurut orang yang kuhadapi lebih berat.hehe memang ya sawang sinawang..
ReplyDelete